PERBANDINGAN METODE BANDONGAN DAN SOROGAN DALAM MEMAHAMI KITAB SAFINATUNNAJAH
##plugins.themes.academic_pro.article.main##
Abstract
Menampilkan perkembangan pembelajaran di pesantren tentunya teramat susah, mengingat tidak adanya acuan standar baku yang dijadikan pegangan semua pondok pesantren yang ada. Artinya, tidak ada laju perkembangan keilmuan yang secara kontinyu dipakai oleh tiap-tiap pesantren. Semisal satu pondok tidak lantas mengubah dirinya untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman, mulai dengan sistem pembelajaran wetonan, lantas ada pengkelasan, terus dengan manajemen organisasi modern dan seterusnya. Karena bahkan sampai di era millenium ini, masih bisa kita temukan pondok pesantren Salafi. Dimana sang kiai (sebutan bagi orang yang alim atau ahli dalam bidang agama) mewajibkan santrinya mengikuti jamaah tarekat, menolak peralatan modern seperti alat speker, dan lain-lain. Pada awal berdirinya, pesantren merupakan media pembelajaran yang sangat simpel. Tidak ada klasifikasi kelas, tidak ada kurikulum, juga tidak ada aturan baku di dalamnya. Sebagai media pembelajaran keagamaan, tidak pemah ada kontrak atau permintaan santri kepada kiyai untuk mengkaji sebuah kitab, apalagi mengatur secara terperinci materi-materi yang hendak diajarkan. Dua model pembelajaran yang terkenal waktu itu adalah model sistem pembelajaran hofdelijk atau sistem wetonan/ bandongan nonklasikal dan sistem sorogan.